Kawan, aku punya cerita...
Petang itu, semilir angin masih mau menyapa tempat saya duduk di belakang
mushala Ma’had Tahfidh Al-Qur’an Al-Amien Prenduan, masih di bumi Madura
tentunya. Semburat merah jingga sudah hilang ditelan waktu, menandakan malam
akan tiba. Beberapa santri terlihat masih serius berkutat dengan ayat-ayat
al-qur’an, sebagian lainnya memilih untuk melamun. Rasa syukur menyeruak,
mengingat masih mampu menikmati dinamika kehidupan yang lekat dengan al-qur’an
dan kesempatan untuk merenungi maknanya. Saya masih terduduk dengan mushaf di
tangan, sembari membacanya perlahan. Sambil menikmati suasana petang itu,
tiba-tiba saya dikejutkan oleh teman satu angkatan (kelas akhir) yang duduk di
samping saya.
Menatap saya
lekat, seraya berkata “Vis, gimana nih? Aku bingung. Aku ngerasa berat dalam
hal ngulang hafalanku. Satu halaman aja butuh konsentrasi tinggi, susah
pokoknya.”
“Kamu target
selesai?” Saya bertanya.
“Kalo
target, iya. Tapi ngulangnya ini yang repot. Kayak gak masuk-masuk. Kebayang
wisuda tinggal 5 bulan lagi. Tapi aku belum ada satu juz pun yang lancar,”lanjutnya.
“Nah,
tinggal lancarin aja. Kok repot. Hidup itu berproses, kawan. Ga ada yang
instan. Mi instan aja butuh proses untuk bias dimakan. Kamu optimis aja, pasti
bisa kok.”
“Ga bisa. Ga
segampang itu. Kamu enak, udah lumayan. Kalo aku, hampir hampir stress rasanya.
Aku takut ga bisa baca hafalan buat wisuda nanti,”
“Hei, keep woles, bro. Terkadang memikirkannya
itu lebih berat daripada melakukannya. Bener itu. Kamu ga usah mikirin itu.
Yang penting action.”
“Sudah, Vis.
Sudah. Tapi dari kemarin seperti jalan di tempat, ga ada hasilnya. Aku ngerasa
iri sama anak-anak yang lain. Aku ini kayaknya gak cocok jadi penghafal
al-qur’an,”
“Hush,
jangan ngomong gitu! Kamu ini orang pilihan. Ga sembarang orang orang, lho, bisa
ngafalin al-qur’an. Apalagi hafalanmu sudah belasan juz. Itu tanggungan, harus
dipertanggungjawabkan. “
“Iya, aku
tahu” dia termenung beberapa saat, “Kamu tahu gak, selama ini aku mikirin apa?”
“Gak. Apa?”
“Wisuda,
wisuda, dan wisuda. Aku takut namaku gak disebutin gara-gara ga bisa baca. Aku
takut ngecewain ibuku” menghela napas sejenak, “Aku pingin berhenti dari
pondok, tapi gak dikasih sama ortuku”
“Jangan
gitu. Lha, kamu kan udah sadar. Maka dari itu, cicil dari sekarang. Yang penting
prosesnya dulu, jangan keburu lihat hasil.”
Matanya
menerawang jauh, termenung dalam diam. Kupegang tangannya, kutatap matanya. Ada
kesedihan di sana.
“Kamu gak
usah banyak pikiran. Tambah berat lho. Coba banyak baca buku motivasi, buat
nambah semangatmu.”
Dia masih
diam. Saya tidak tahu apa yang dipikirkannya. Melamun atau memikirkan kata-kata
saya. Ah, siapalah saya. Motivator bukan, psikiater juga bukan. Hanya ini yang
saya bisa.
“Kamu tahu,
Vis” pelan dia berkata,”Kemarin waktu aku mudif
(dikunjungi orang tuanya), aku bilang ke ibuku. ‘Bu, aku berhenti sekarang
aja ya. Mumpung belum wisuda. Aku ga mau ibu malu gara-gara anaknya gak disebut
saat wisuda. Apalagi ibu banyak kenalan.’ Tapi ibuku tetep nasehatin aku.
Motivasi gitulah,”
Saya terdiam
beberapa saat. Saya paham, teman saya ini sedang mengalami gejolak emosi yang
luar biasa, keadaanya tidak stabil. Dia merasa hopeless, bingung.
Waduh, ini
klimaks yang saya takutkan. Matanya mulai sembab. Berkaca-kaca. Atas dasar
naluri kelakiannya, dia menoleh membelakangi saya. Mengusap matanya perlahan.
Saya mencoba berpaling, menghargai. Dua tiga menit berlalu dalam diam.
‘Duh, Gusti… Harus ngomong apa aku buat
bangkitin semangatnya? Beberapa nasihat sudah kuberikan. Gak tega diri ini
melihat dirinya terbebani oleh beban emosi yang campur-aduk. Ya Allah, hidupkan
semangatnya kembali untuk mencintai dinamika bersama al-qur’an.’ Saya
membatin.
“Kawan, aku
tahu kamu merasa sulit dalam menjalani proses ini. Aku mengerti dan paham
sekali. Memang tidak mudah untuk membaca belasan juz dalam satu kali duduk,
tapi itu bukan mustahil.”
“Yang kamu
perlukan hanya mata yang akan menatap al-qur’an lebih lama dari biasanya. Mulut
yang akan melantunkan ayat qur’an lebih sering dari biasanya. Otak dan hati
yang akan bekerjasama lebih keras dari biasanya. Dan, yang terpenting, bibir
yang akan mengucap do’a sehabis shalat lebih banyak dari biasanya. Aku yakin,
Allah tidak pernah meremehkan kemampuanmu. Yang perlu kamu lakukan hanya yakin
dan percaya. Kamu pasti bisa!” Tiba-tiba saja kata-kata itu terucap dari bibir
saya. (*tsaaaah… hehe)
Dia
mendengarkan saya, menyimak dengan baik. Menatap saya lekat dan lama.
Saya tidak
berharap lebih untuk dapat membuka persepsinya lebih luas, saya hanya berusaha
sebisa saya. Tiba-tiba dia berkata,
“Navis,
makasih ya.” Lantas tersenyum.
Lega.
Lagi-lagi
petang itu, angin masih saja berembus sepoi-sepoi menyeruak ke sudut-sudut
ruangan. Malam ini rasanya akan lebih panjang dari biasanya. Ah, bahasa cintaMu
memang indah...
Ya Allah…
jika keinginan kami untuk lebih dekat dengan al-qur’an itu baik, maka
mudahkanlah jalannya. Besarkan hati kami agar tidak mudah putus semangat, tidak
mudah bosan, tidak mudah kalah oleh kehidupan dunia. Jadikan al-qur’an sebagai
syafaat kelak di akhirat nanti sebagai penolong kami. Dan berikanlah nikmat
pada kami untuk bisa membacanya pada siang dan malam, kala bahagia maupun
sedih, serta mampu berusaha mengamalkannya. Amiin.
PS: Jika ini juga termasuk do’a anda, maka
jangan segan untuk ikut mengucap “Amiin”.
Subhanallah.. ini navis yg dulu sekolah di sdn dinoyo 4 malang kah :) hapalin qur'an ya vis?.. waaah dulu diem banget lugu.. sekarang bisa seperti ini apa kunci suksesnya vis :)
BalasHapus